![]() |
Sebagai mahasiswa hukum, saya memandang kondisi chaos yang terjadi belakangan ini bukanlah wujud anarki rakyat, melainkan letupan dari akumulasi kekecewaan terhadap aturan dan kebijakan yang timpang. Perlu ditegaskan, aksi massa adalah hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28E UUD 1945. Masalah muncul ketika negara gagal menyediakan *zona aman* yang jelas. Aparat lebih sibuk membatasi, bahkan merepresi, daripada memberi ruang aman bagi rakyat untuk bersuara. Padahal, jika negara konsisten pada prinsip rule of law, demonstrasi harus dipandang sebagai bagian dari partisipasi publik, bukan ancaman keamanan.
Kemudian, mari kita bicara tentang DPR. Pernyataan-pernyataan anggota dewan yang tidak profesional dan kebijakan yang tidak berkeadilan—mulai dari pajak PBB, tunjangan rumah, wacana kenaikan gaji, hingga gagasan gerbong perokok—telah melukai rasa keadilan masyarakat. Dalam teori hukum, sebuah aturan harus mencerminkan justice dan utility. Namun faktanya, kebijakan mereka justru mencerminkan kepentingan diri sendiri. Saat rakyat berjuang mencari pekerjaan dan bertahan hidup di tengah ekonomi sulit, para wakil rakyat sibuk mengatur kenyamanan pribadi. Bukankah ini bukti nyata bahwa hukum dijadikan instrumen kekuasaan, bukan instrumen keadilan?
Tidak berhenti di situ, pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, tentang guru menjadi beban negara, anggota DPR kian memperkeruh suasana. Secara yuridis, memang ada kewenangan pemerintah untuk mengatur gaji pejabat. Tetapi, secara sosiologis, keputusan itu cacat moral. Bagaimana mungkin di tengah kesenjangan ekonomi, pemerintah justru memberi prioritas pada kesejahteraan elit? Dalam perspektif justice theory ala John Rawls, kebijakan itu sama sekali tidak memenuhi asas keadilan bagi mereka yang paling lemah.
Kasus terbaru polisi yang menabrak pengemudi ojol hanya menambah daftar panjang potret buram penegakan hukum kita. Hukum masih terasa tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Aparat yang seharusnya melindungi malah memperlihatkan wajah arogansi. Ini jelas bertentangan dengan prinsip equality before the law yang menjadi pilar negara hukum.
Maka, jika hari ini rakyat turun ke jalan, itu bukanlah bentuk kebencian pada negara, melainkan cinta yang terlukai. Rakyat sedang menagih janji keadilan, menagih komitmen rule of law yang selama ini hanya indah di atas kertas. Chaos ini harus dibaca sebagai alarm keras: negara sedang kehilangan legitimasinya. Jika elit tak segera berbenah, jangan salahkan rakyat bila kepercayaan benar-benar runtuh. Vox populi, vox dei; Suara Tuhan, suara rakyat.

0 Komentar